Rabu, 30 Desember 2009

investasi etis bebas pencucian uang dalam etika bisnis

Investasi Etis Bebas Pencucian Uang
Karakteristik Investasi Etis
Beberapa perusahaan melakukan pemilihan investasi hanya berdasarkan geografis dan keuangan serta mereka menyarankan agar perusahaan sebaiknya melakukan bisnis dengan tingkat etika yang tinggi. Namun ada juga investasi etis yang melakukan pemilihan investasi berdasarkan kombinasi dari negatif maupun positif karakteristik dari investasi. Dalam menentukan karakteristik positif maupun negatif, perusahaan tersebut melakukan evaluasi secara regular karena banyak hal yang masih menjadi perdebatan dalam menentukan “baik” atau “buruk” investasi.
Beberapa karakeristik dari investasi yang positif, misalnya:
• Perusahaan atau investasi yang menyuplai kebutuhan dasar kehidupan bagi masyarakat.
• Perusahaan yang menjaga ketersediaan energi bagi kebutuhan masyarakat.
• Perusahaan yang menjaga kelangsungan kehidupan lingkungan di sekitarnya dan mengontrol polusi yang mungkin terjadi akibat pembuangan atau limbah.
• Memiliki hubungan baik dengan penyedia barang dan memberlakukan pegawai dengan baik tanpa adanya diskriminasi.
• Perusahaan yang terlibat langsung dengan komunitas masyarakat.
Beberapa karakteristik dari investasi yang negatif misalnya:
• Perusahaan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan atau mengakibatkan polusi.
• Mengeksploitasi penggunaan binatang untuk keperluan yang tidak penting.
• Perusahaan manufaktur senjata maupun perusahaan yang menjualnya.
• Perusahaan rokok dan produk beralkohol.
• Perusahaan perjudian maupun pornografi.

Siapa yang Menentukan Ini?
Investasi etis lebih banyak dikategorikan sebagai “art” daripada “science“. Mengapa demikian? Karena masalah terbesar dalam menentukan etis atau tidaknya sebuah investasi sangat dipengaruhi oleh pandangan individunya. Bagi sebagian orang mungkin saja karakteristik perusahaan yang memproduksi rokok adalah tidak “etis”, namun bagi sebagian lagi adalah investasi yang etis.
Apakah etis ini lebih didasari oleh perilaku atau perspektif seseorang terhadap sebuah investasi? Hal inilah yang menjadikan beberapa perusahaan lebih suka memakai sebutan “socially responsible investing“.
Dengan demikian, untuk mengatakan suatu investasi etis atau tidak, harusnya kita perlu memandang lebih dalam, bukan hanya sekadar pandangan terhadap instrumen investasinya, tapi juga melihat segi etis dan moral proses investasinya.
Sebagai contoh, asal usul uang yang digunakan untuk investasi perlu dipertimbangkan. Ini berhubungan dengan kriteria “pencucian uang” sebagai investasi yang tidak etis. Pencucian uang (money laundering) sangatlah merugikan bukan hanya bagi masyarakat tapi lebih dari itu merugikan Negara.
Pencucian Uang
Secara sederhana, pencucian uang merupakan suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya.
Tujuan menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut, agar dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal.
Saat ini pemerintah sedang menggalakkan seruan yang berkaitan dengan tindakan “pencucian uang”. Hal ini berkaitan dengan dikeluarkannya UU No.15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam proses seseorang atau sebuah perusahaan melakukan pencucian uang, biasanya dilakukan dalam tiga tahap yang umumnya dilakukan agar kegiatan tidak etis atau unethical conduct ini dapat berlangsung dengan aman.
Tahap pertama adalah langkah penempatan. Uang yang dihasilkan dari kejahatan mula-mula ditempatkan pada lembaga keuangan atau digunakan untuk membeli aset.
Tahap kedua adalah langkah pelapisan, tindakan ini dilakukan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dana tersebut. Proses ini biasanya dengan memindahkan dana dari satu bank ke bank lain atau dana tersebut dijadikan agunan untuk mendukung usaha yang sah.
Tahap ketiga adalah langkah penggabungan. Pada tahap ini uang haram tadi sudah dapat digabungkan dengan aset lainnya melalui sistem keuangan yang sudah ada, yang selanjutnya dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi atau bisnis melalui sistem keuangan yang legal.
Dari proses pencucian di atas, banyak uang haram yang biasanya tunai ditempatkan pada sektor perbankan. Dengan diberlakukannya UU No. 15 tahun 2002, mengenai tindak pidana pencucian uang, maka sektor perbankan seharusnya lebih memperketat masuknya uang-uang kedalam perekonomian melalui bank.
Bank diharuskan melakukan proses mengenali nasabah (Know Your Customer / KYC principle), mengelola pencatatan rekening dengan baik, dan kewajiban untuk melaporkan transaksi yang “aneh” atau dicurigai. Dengan keharusan untuk melakukan itu semua, tahap awal penempatan dalam lembaga keuangan akan meningkatkan terdeteksinya transaksi tersebut.
Tindakan yang sering dilakukan oleh pelaku kejahatan pencucian uang adalah dengan ber”kompromi” dengan pihak bank. Hal ini bisa saja terjadi bila pegawai bank ada yang KKN (khususnya kolusi- red) dan bekerja sama dalam melakukan tindakan pidana ini.
Peningkatan etika dan moral serta sistem di dalam bank maupun pada individual karyawan bank, tentunya akan semakin mempersulit pelaku pencucian uang untuk melakukan tindakan ini melalui lembaga keuangan. Namun, di Indonesia, hal ini masing sering terjadi misalnya pembobolan uang di bank BNI 46 senilai Rp. 1,7 triliun yang, bukan main dahsyatnya. Tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum termasuk pelanggaran tindak pidana pencucian uang.
Mulai dilaksanakannya upaya-upaya pencegahan pencucian uang melalui lembaga keuangan, dengan diberlakukannya prinsip mengenal nasabah, merupakan hal penting yang membuat pelaku menjadi kesulitan dan harus membayar lebih tinggi serta risiko tertangkap lebih tinggi dari sebelumnya. Namun, demikian pelaku tetap saja mencari jalan untuk dapat melakukan kejahatan ini. Alternatif lain yang bisa digunakan adalah melalui lembaga keuangan non bank.
Lembaga-lembaga tersebut termasuk di dalamnya, perusahaan asuransi, perusahaan efek, pengelola reksadana, bank custodian dan pedagang valuta asing. Semua lembaga ini berpotensi besar menjadi sarana bagi para pelaku kejahatan pencucian uang untuk melakukan hal tersebut. Berkaitan dengan hal ini maka setiap lembaga keuangan baik bank maupun non bank harus melakukan apa yang dikenal dengan prinsip mengenal nasabah yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh lembaga pengawas masing-masing perusahaan jasa keuangan.
Dalam hal pendataan, lembaga keuangan diharuskan menyimpan dokumen mengenai nasabah selama lima tahun setelah nasabah tersebut keluar dari lembaga keuangan. Dalam hal in yang dikatakan identitas antara lain adalah nama, alamat, jenis kelamin, umur dan pekerjaan.
Bagi mereka yang terlibat didalam proses pencucian uang, baik yang memiliki uang haram tersebut atau yang menerima atau menguasai penempatan uang tersebut, maka dapat dikenakan sanksi penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 ( lima belas tahun) dan denda paling sedikit Rp. 5,000,000,000 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp.15,000,000,000 (lima belas milyar rupiah).
Dengan diberlakukannya UU No.15 tahun 2002 tetang Tindak Pidana Pencucian Uang, maka ada banyak pihak terkait yang perlu bekerjasama untuk mengatasi kejahatan ini. Pencucian uang sangat mempengaruhi perekonomian sebuah Negara, baik dalam bentuk peningkatan gejolak pasar akibat hot money yang masuk keluar secara cepat, maupun kesulitan akibat dikucilkan dalam komunitas keuangan dunia. Upaya dari adanya investasi etis adalah melakukan tindakan investasi yang sesuai dengan moral dan etika berperilaku bisnis baik dari pihak investor maupun perusahaan. Peperangan melawan kejahatan pencucian uang memang harus melibatkan semua pihak, termasuk nasabah bank / lembaga keuangan non bank.
Semoga dengan diberlakukannya UU No.15 tahun 2002 dan implementasi secara serius dari KYC serta tindakan nyata lain sehubungan dengan itu, Indonesia dapat dikeluarkan dari daftar hitam kelompok Negara yang Non Cooperative Country / Territory yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering.
***
Diambil dari Harian Umum Sore Sinar Harapan Rubrik PERENCANAAN KEUANGAN. Rubrik ini diasuh oleh Tim Indonesia School of Life (ISOL) yakni Andrias Harefa, Roy Sembel, M. Ichsan, Heru Wibawa, dan Parpudi Lubis.
Tulisan ini dibuat pada tanggal 3 April 2007 dan berada dalam kategori Artikel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar