Senin, 06 Januari 2003
Rintangan Pasar Global
Oleh : Rahardi Ramelan
Perdagangan produk industri berbasis teknologi, termasuk senjata dan produk teknologi tinggi, menjadi perhatian dan fokus berbagai kajian, perdebatan dan diskusi. Industri berbasis teknologi kerap dipakai sebagai tolok ukur dalam menentukan kemajuan dan kemampuan teknologi suatu negara, dan dijadikan sebagai national champion.
Perkembangan dan kemajuan yang pesat dalam teknologi dan industri di beberapa negara industri baru telah menjadi saingan dan ancaman bagi negara industri maju. Hal ini disadari sepenuhnya oleh negara industri maju.
Setelah perang dingin berakhir, telah terjadi kelebihan kapasitas industri persenjataan dan teknologi tinggi yang berada khususnya di Amerika Serikat, Eropa dan negara-negara eks Uni Soviet.
Di sisi lain persaingan negara industri maju dan negara industri baru dalam perdagangan produk berbasis teknologi makin meningkat. Hampir semua negara melakukan berbagai jenis bantuan dan dukungan, termasuk subsidi, secara besar-besaran untuk mempertahankan dan meningkatkan keunggulan teknologinya.
Menghadapi masalah persaingan tidak sehat itu timbul pertanyaan, bagaimana peran WTO? Apakah badan dunia ini bisa benar-benar menjadi wasit yang adil dalam perdagangan dunia?
Kenyataannya, berbagai kesepakatan dan peraturan GATT yang diperuntukkan guna membantu negara-negara berkembang, seperti berbagai peraturan untuk terciptanya Leveled Playing Field, seperti Special and Differential Treatment bagi negara berkembang dan industri baru, sering diabaikan dalam pelaksanaannya.
Negara-negara industri baru selalu menghadapi rintangan untuk memasuki pasar global, terutama dalam pemasaran produk teknologi tinggi seperti elektronika dan pesawat terbang, juga industri lainnya seperti besi baja.
Uruguay Round-WTO
Pada tahun 1994, perundingan perdagangan dunia Uruguay Round akhirnya dapat diselesaikan dan berbagai perjanjian telah disepakati dalam bentuk General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Dan World Trade Organisation (WTO) terbentuk.
Selain mengimplementasikan GATT, Direktur Jenderal WTO mendapat mandat untuk mengambil inisiatif mengadakan negosiasi dalam bidang pertanian dan jasa-jasa. Kenyataannya, mandat ini sampai sekarang belum dapat diselesaikan.
Hambatan perdagangan internasional masih tetap tinggi. Produk industri, di 42 negara industri maju dan berkembang, rata-rata masih memberlakukan tarif antara 18 sampai 59 persen. Malah di beberapa negara, tarif mencapai rata-rata 30 persen.
Tarif produk pertanian di Asia rata-rata antara 0 sampai 69 persen, beberapa negara mengikat di atas 100 persen. Di Eropa masih berkisar antara 1 sampai 45 persen.
Kebijakan Anti Dumping (Article 6) lebih banyak dimanfaatkan oleh negara maju, khususnya untuk produk industri. Export subsidies mempunyai peran penting bagi negara berkembang atau industri baru, dalam menanggulangi ledakan tenaga kerja.
Seharusnya ada pengaturan bagi negara dengan GDP/Capita tertentu untuk menerapkam export subsidie ini. Subsidi yeng bersifat actionable sangat mengganggu industri domestik, juga merugikan negara pengekspor lainnya, sedangkan subsidi untuk produk dalam negeri akan merugikan negara-negara pengekspor.
Subsidi yang bersifat non-actionable, misalnya subsidi untuk penelitian di industri, subsidi untuk kegiatan pre-competion, subsidi untuk daerah-daerah yang tertinggal, masih diterapkan oleh negara industri maju. Sedang subsidi untuk lingkungan hidup, tidak mungkin diproses di Dispute Settlement Body/WTO. Jadi masih terbuka luas.
Negara industri maju sering menyelesaikan masalah grey area secara bilateral atau unilateral. WTO sendiri pada dasarnya melarang adanya grey area tersebut.
Article 18 (Balance of Payment) dan Article 19 (Temporary Safeguards), dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi negara-negara, khusunya negara berkembang dan industri baru, untuk memperkokoh ekonominya. Pengaturan ini tidak dimaksudkan untuk menghindari impor dari negara tertentu. Tetapi sering dipermasalahkan oleh negara industri maju.
Dengan adanya krisis ekonomi di Asia, dan di Indonesia yang masih berlangsung, pemanfaatan articles tersebut seharusnya dapat diperjuangkan untuk ditingkatkan secara maksimal. Negara-negara yang terkena krisis dapat secara bersama-sama mengadakan negosiasi dengan WTO, baik melalui G-15 maupun Kelompok 77.
Produk tekstil
Tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan komoditi yang sangat penting dan jadi andalan bagi negara berkembang dan negara industri baru. TPT adalah komoditi dengan pasar internasional yang kompetitif dan menyerap tenaga kerja berketrampilan terbatas. Tetapi negara maju masih terus berusaha menghambat perdagangan TPT ini.
Dengan masuknya negara Eropa Timur kedalam Uni Eropa (UE), kedudukan negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Selatan, makin sulit dalam bersaing secara fair didalam perdagangan TPT ini. Pembentukan kerjasama ekonomi regional seperti America, Mercusor, Apec dan Asia Timur (?), perlu dicermati dan dimanfaatkan dengan saksama.
Antara tahun 1972 dan 1994 perdagangan TPT ini didasarkan kesepakatan bilateral dalam Multifibre Arrangement (MFS). Kemudian pada tahun 1994 disepakati adanya transisi menuju liberalisasi penuh pada tahun 2004 yang akan dikendalikan oleh WTO.
Dalam Agreement on Textiles and Clothing (ATC), dinyatakan bahwa proses menuju liberalisasi harus dilaksanakan secara progresif. Tapi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa tetap memberlakukan kuota dengan ketat seperti semula, hampir tidak ada kemajuan seperti diamanatkan ATC.
Dengan makin besarnya jumlah negara yang tergabung dalam UE, makin sulit bagi negara-negara di luar UE untuk memasuki pasar Eropa. AS masih terus menggunakan Super 301 untuk mengancaman ataupun mengurangi kuota bagi negara tertentu.
Mengingat pentingnya masalah TPT ini bagi negara berkembang dan negara industri baru, seharusnya penyelesaian masalah TPT dijadikan tambahan mandat bagi Direktur Jenderal WTO, tidak perlu menunggu tahun 2004. Menyelesaikan masalah TPT jauh lebih bermakna dari upaya melaksanakan New Round yang masih banyak dipertentangkan.
Hambatan dan distorsi
Dalam pelaksanaan Article 19 (Temporary Safeguards) dan Article 6 (Anti Dumping), dari daftar masalah yang diajukan ke Dispute Settlement Body (DSB), dapat kita cermati bahwa negara maju lebih banyak membawakan masalah ke DSB dalam berhadapan dengan negara berkembang atau negara industri baru. Dan keputusan ditingkat DSB kebanyakan merugikan negara industri baru.
Amerika Serikat secara unilateral masih mempergunakan Super 301. Indonesia pernah menghadapi masalah mengenai mobil nasional, yang sebenarnya bukan merupakan masalah Indonesia, tetapi masalah negara industri maju (Jepang, Eropa dan Amerika Serikat) dengan Korea, karena akan kehilangan dominasinya di Indonesia. AS mempermasalahkan DRAM (Dynamic Random Access Memory) dari Korea dan lain sebagainya seperti berikut ini.
Amerika Serikat: DRAM dan Stainless Steel Plate (Korea); Hot Rolled Steel (Jepang); Cotton and Cotton Product (dengan beberapa negara); Wheat (UE); Shrimp and Shrimp Product (Selandia Baru dan Australia); Anti Dumping Act 1916 (Jepang dan UE).
Uni Eropa: Cotton and Bed Linnen (India); Meat and Meat Product (Kanada dan AS); Poultry Product (Brasilia); Banana (AS); Custom Classification On Computer Equipment (AS).
India: Pharmaceutical and Agriculture Product (AS). Jepang: Photographic Paper and Film (AS); Alcohol Tax (dengan beberapa negara). Kanada: Pharmaceutical Product (AS); Commercial Aircraft (Brasilia). Daftar ini masih panjang lagi.
Perdagangan dan teknologi
Akibat berakhirnya perang dingin, muncul masalah baru dalam industri strategis dan persenjataan di beberapa negara maju. Kapasitas produksi berlebihan dan pasar berkurang. Tekanan politik dalam negeri, antara lain ketenaga kerjaan, mengharuskan kapasitas produksi dipertahankan dengan program yang hampir mengada-ada, yang disebut pork barrel.
Demikian juga masalah yang dihadapi dalam memertahankan keunggulan dalam teknologi tinggi, menghadapi kemajuan teknologi dan daya saing negara industri baru. Khususnya dalam industri pesawat terbang, telekomunikasi, elektronioka, mobil dan kimia.
Negara berkembang dan industri baru terus mengembangkan kemampuan dan daya saingnya dalam industri TPT, produk pertanian dan kehutanan dan telah menciptakan ancaman kepada negara industri maju.
Jadi, masalah yang dihadapi oleh WTO dalam globalisasi perdagangan dan industri adalah masalah negara industri maju G-8 dengan 'the rest'. WTO dengan DSB-nya masih bias dalam mengambil keputusan. Perlu upaya bersama, seperti yang pernah dirintis oleh 'the rest' melalui UNCTAD, Kelompok 77, G-15, Selatan-Selatan dan lain-lain.
Waktu sudah mendesak, siapa yang berani mengambil inisiatif?
Citra batik Indonesia yang sudah sangat terkenal di dunia dikhawatirkan bisa tenggelam jika kebijakan ke depan terhadap batik tidak tepat.
Saat ini negara-negara yang menghasilkan batik semakin banyak. Malaysia, Thailand, Amerika Serikat, Afrika, bahkan Eropa juga memiliki batik. Negara-negara itu tidak hanya memiliki batik dengan ciri khas tertentu, tetapi juga menguasai teknik pemasaran global.
Menurut Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM) Departemen Perindustrian (Depperin) Sakri Widhianto, selama ini batik Indonesia sangat kuat di pasar dalam negeri. Pemerintah juga pernah mencanangkan pegawai negeri sipil memakai batik sehari dalam seminggu.
Namun, untuk pasar dunia, nilai ekspor batik hanya mencapai 350 juta dollar Amerika Serikat atau 4,5 persen dari nilai ekspor tekstil Indonesia secara keseluruhan. Sakri percaya angka ini bisa digenjot lebih tinggi lagi jika kebijakan terhadap batik, terutama bagaimana menghadapi para negara pesaing, tepat.
Untuk mendapatkan masukan-masukan bagaimana meningkatkan penetrasi batik Indonesia ke pasar global, Direktorat Jenderal IKM mengadakan Dialog Nasional Batik yang dihadiri sekitar 20 pengusaha dan pemerhati batik Indonesia.
Dalam dialog terbatas, yang dihadiri antara lain Joop Ave, Iwan Tirta, Afif Sjakur, Asmara Damais, Komar, wakil Yayasan Batik Indonesia, dan wakil Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia, mengemuka beberapa gagasan yang dinilai Sakri bisa dilaksanakan.
Gagasan itu antara lain melakukan riset yang mencakup sejarah budaya batik, membentuk lembaga promosi batik untuk pasar global yang didukung tenaga profesional, pameran berkala dan terus-menerus, mematenkan desain motif batik Indonesia, dan membuat merek Batik Indonesia untuk batik yang dipasarkan global.
Menurut Yoga Pramana dari IKM Depperin, tahun 2005 Depperin telah mematenkan sekitar 600 desain. Sementara pada tahun 2003-2004 telah dipatenkan 2.763 motif desain.
Usulan mematenkan desain motif dan membuat merek batik Indonesia ini agaknya harus dipikirkan lebih jauh pelaksanaannya. Walaupun sebuah motif telah dipatenkan, penegakan hukumnya masih sangat sulit dilakukan. Hukum tidak bisa menjangkau tiruan desain yang hanya mengubah sedikit ukuran atau gambar dari desain aslinya.
Sumber : (DAY/ARN) Kompas Cetak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar